Monday, December 26, 2011 0 comments

The Friendzone


Just found another paragraph worth to publish here. Taken from Melissa de la Cruz's Blue Blood series, book three, called "Revelation". A record a.k.a confession made by Oliver Hazard-Perry about his feelings for his best friend, Schuyler Van Alen.


"... So, yeah—again, you're asking me why I did it. Why I let her take my blood,
let her mark me as her own. Do that whole "familiar" thing. All that jazz.


I guess the truth of the matter was, I didn't want her to have to do it with someone else. I didn't want to share. 
She was already so different from me, changing already.
She is different. She's going to live forever, while I'm only going to get to go around once.


I wanted to hold on.
Because yeah, I do love her.


... Jack is going to leave her one day. I know he will. He's too much for Schuyler. They're wrong for each other. Anyone can see that.


And when he leaves her, I'll be there.
However long it takes, I'll still be there for her.


Waiting.


So I guess Schuyler's wrong. I guess I'm a pretty romantic guy after all."


So? What do you think? Is it really make you say: Aaaw, so sweet, or am I just being melodramatic, again? <3

Sunday, December 11, 2011 0 comments

Chapter 4

*untuk cerita sebelumnya, lihat Chapter 3*


“Kamu cantik. As usual,” kata Andra sewaktu menjemputku di rumah. Aku hanya tersenyum mendengarnya, seperti sudah kebal dengan gombalannya. “Pamit dulu yuk,” ajaknya sambil masuk ke ruang tamu. 

Aku memanggil Papa. Andra memang lebih suka pamit pada papaku ketimbang mamaku, menghormati kepala keluarga katanya. Dia langsung berdiri saat Papa masuk ke ruang tamu. 

“Oom, saya mau ajak Nina nonton di Ciwalk. Nanti pulangnya sekalian makan di sana,” jelasnya tanpa basa-basi. 

“Oh iya, silahkan. Pulangnya jangan malam-malam ya, Ndra,” ujar Papa. 

“Pasti, Oom. Sebelum jam 10 udah aman sampai di rumah,” kata Andra tersenyum sambil mengacungkan jempol. 

“Pergi dulu ya, Pa,” lalu mencium tangan Papa. “Ma, pamit!” teriakku pada Mama yang sedang berada di ruang kerjanya. 

Sesampainya di Ciwalk kami langsung menuju XXI. Tak disangka-sangka saat sedang mengantri membeli popcorn, ada yang menepuk bahuku. Irfan. 

“Hei,” kataku menyapa. “Mau nonton juga, Fan?” 

“Kagak, mau beli baju. Ya iyalah, Nin," jawabnya dengan nada lucu. Aku pun tertawa, memang aneh juga pertanyaanku. "Gue mau nonton Transformer. Nih, sama temen-temen kantor,” lanjut Irfan seraya menunjuk rombongan di belakangnya. 

“Hahaha... Sama dong, gue juga mau nonton Transformer.” 

“Lo nonton sendiri? Gabung aja sama kita,” ajak Irfan. 

“Eh, itu, gue sama...” Belum sempat aku menjawab, sudah ada yang menyela. 

“Bro! Nonton Transformer juga?” Tiba-tiba Andra sudah ada di sampingku dengan dua tiket di tangannya. Wajahku berubah masam begitu melihat cengiran Irfan dan tahu apa yang ada di pikirannya. 

Oh, crap! 

“Eh, iya nih, Ndra. Sama temen-temen kantor. Kalian cuma berdua?” tanyanya menyindir. Andra hanya tertawa. Tak lama, pengumuman studio 2 tempat Transformer diputar sudah menggema. 

“Ya udah, Fan. Kami duluan ya,” kata Andra. Aku melambaikan tangan ke arah Irfan lalu kami berbalik berjalan ke arah studio 2. 

Baru beberapa langkah kurasakan tangan Andra memeluk pinggangku sampai kami memasuki studio 2. Aku langsung teringat teori teman-temanku dan aku jadi takut mereka benar. Jelas dia ingin menunjukkannya ke Irfan karena dia tahu Irfan masih memperhatikan kami. Tapi mengapa aku malah takut, bukannya harusnya aku merasa senang? Karena Andra serius dengan perhatiannya, bukan hanya bercanda. Aku menatapnya dengan pandangan menyelidik. 

“Kamu kenapa, sayang? Ada sesuatu ya di mukaku?” tanyanya bingung, tangannya meraba wajahnya. 

“Hah? Oh, nggak kok, nggak ada apa-apa. Nih,” jawabku lalu menyodorkan popcorn. Selanjutnya pikiranku teralihkan karena menonton film. Tapi tidak lama. Satu setengah jam kemudian, setelah film selesai, aku kembali sibuk memikirkan sikap Andra yang semakin frontal. 

“Kita mau makan di mana, Ra?” tanyaku setelah keluar dari bioskop. Mataku sempat mencari sosok Irfan, berharap semoga tidak bertemu dengannya lagi. Aku tidak tahan melihat tatapan heran dan ingin tahunya itu. 

“Kamu lagi kepingin makan apa? Chinese, Western, or Indonesian?” Andra balik bertanya. 

“Hmm, apa ya? Kita ke food court dulu aja deh yuk,” ajakku.

Nasib baik memang sedang tidak berpihak padaku. Setelah kami memutuskan akan makan di mana, di situlah kami bertemu lagi dengan Irfan dan teman-temannya. 

“Hei, Bro! Ketemu lagi, hahaha...” sapa Andra. “Yuk, Nin, di sana aja yang non-smoking. Kamu kan nggak tahan asap rokok,” ajak Andra sambil menggandeng tanganku. Aku melihat pandangan Irfan mengikuti kepergian kami

Saat menunggu makanan pesanan kami. Ada sms masuk ke ponselku. Irfan. Aku menatap bingung ke arahnya, tapi dia sengaja mengalihkan pandangan. Ku buka smsnya 

Lo ga tahan asap rokok, tp jalan sm perokok. Gw bingung. 

Aku tersenyum kecut, lalu membalas. 

Andra ga pernah ngerokok klo lg jalan sm gue. 

Tak lama datang lagi balasan dari Irfan. 

Sejak kpn kalian ber-aku-kamu gt? Knp ga ngaku aja sih nin, klo kalian pacaran? Kalian cocok lho padahal :D 

Astaga! Bahkaaaan... Aku kembali mengarahkan pandangan ke Irfan dan dia hanya nyengir kuda. Aku mendengus lalu mengetik balasannya.

Tau ah! Udah ya, gue makan dulu. 

Balasanku kukirim setelah makananku datang, agar pikiranku teralihkan padanya. Hmm, makanan lezat memang penawar yang tepat di saat seperti ini, hehehe... 

“Siapa yang sms? Kok kayak kesel gitu?” tanya Andra. Tangannya sibuk memisahkan daun bawang dalam sapo tahu seafoodnya. Dia paling anti dengan daun bawang dan bawang goreng. 

“Temen. Udah dibilangin berkali-kali, tapi masih ngeyel. Bikin sebel aja,” kataku sambil terus menyuap nasi goreng special ekstra pedas di hadapanku. 

“Ooh... Hei, pelan-pelan dong, sayang. Kamu kebiasaan deh kalo lagi kesel makannya kayak kejar setoran. Tuh, ada nasi di pipi kamu,” ujar Andra sambil tertawa, tangannya membersihkan nasi yang menempel di pipiku. 

Terdengar bunyi sms lagi dari ponselku. Kulirik sekilas, Irfan lagi! Aku sudah mengira apa yang akan dikomentarinya, lebih baik nanti saja kubuka jika sudah selesai makan. Akhirnya aku berkonsentrasi pada makananku, tanpa mempedulikan perlakuan Andra yang jadi supermanis. Kuterima saja semua perhatiannya dengan anggukan kepala dan senyum (dipaksakan) manis. Aku tahu semua itu hanya untuk pamer di depan Irfan. Lalu datang lagi sms dari Irfan, yang tetap tak kuhiraukan. Lama-lama jengah juga dengan perhatian Andra dan tatapan Irfan di seberang sana yang mengira kami pacaran. Aku pun mengajak Andra pulang. Sesampainya di mobil, kubuka sms-sms dari Irfan. Yang pertama: 

Cieee mesra banget sih, jadi iri nih :p 

Kampret! Kubuka smsnya yang kedua: 

Nanti klo udah siap konferensi pers blg2 ya. Semoga langgeng.. 

Kampret kuadrat!! Akhirnya aku membalas smsnya. 

Ngaco lo ah! 

Lalu ku-silent ponselku dan kumasukkan dalam tas. Aku kembali menekuri wajah Andra. Seperti menyadari tengah diperhatikan, dia balas menatapku. 

“Kenapa sih? Aku ganteng banget ya sampe kamu terpesona dan merhatiin mukaku terus dari tadi?” katanya dengan senyum jahil. 

Did you hit your head or something? Kenapa sih beberapa hari ini jadi beda?” Aku langsung menyerangnya. Seketika alisnya bertaut, tanda bahwa dia bingung. 

“Hah? Aku nggak ngerti. Emang beda gimana?” tanyanya 

“Jadi lebay, sejak reuni dua minggu yang lalu,” jawabku terus terang. 

“Lebay? Perasaan aku biasa-biasa aja deh. Kamu ih, aneh banget deh,” ujarnya geleng-geleng. 

“Iya, lebay. Lebay perhatiannya terutama di depan temen-temen SMP kita. Kesannya kayak kamu lagi berusaha ngeyakinin mereka kalo emang ada apa-apa di antara kita.” 

“Oh, itu yang bikin kamu uring-uringan terus dari kemarin-kemarin." Andra terdiam sejenak sebelum melanjutkan, "Terus kalo emang ternyata aku sengaja, gimana?” 

Aku ternganga menatapnya. Semudah itukah dia mengaku? 

“Kalo ternyata aku serius perhatian dan sayang sama kamu, gimana?” tanyanya lagi. 

OMG!! 

Karena tidak kunjung mendapat jawaban dari aku yang sedang berusaha mencerna kata-katanya, akhirnya kami membiarkan musik jazz dari radio memecah keheningan di antara kami. Hingga mobil sampai di depan pintu rumahku. Andra mematikan mesin mobil, kami masih terdiam. Ketika aku bersiap membuka pintu mobil, tangan Andra menahanku. 

“Sayang, pertanyaanku tadi... lupain aja ya?” katanya sambil menatap lurus kepadaku. 

What?!? After saying those words, you told me to just forget about that?!? Monyong!!! 

Okay, fine! Kamu nggak usah pamit, biar nanti aku bilang Papa kalo kamu buru-buru,” jawabku seraya menutup pintu mobil dengan kencang lalu berjalan setengah berlari masuk ke halaman. Tak kuhiraukan panggilan-panggilannya. Kutekan bel dan menunggu Papa membukakan pintu, lalu kudapati wajah bingung Papa karena melihatku sendiri. 

“Lho? Andra mana? Kok nggak pamitan?” 

“Mati!” jawabku judes, lalu berjalan tergesa masuk ke kamar. Aku sempat melihat Mama geleng-geleng, yang ditimpali Papa dengan ucapan ‘anak muda’. 

Kurang ajar! Apa-apaan tuh anak?! Mana bisa habis bilang kalau dia serius lalu tiba-tiba memintaku melupakan ucapannya?!? 

Dasar sompret! 

Aku memutuskan untuk mandi supaya pikiranku sedikit jernih lalu langsung tidur saja. Ternyata capek pikiran membuat tubuhku ikut lelah. Setelah berganti piyama dan mematikan lampu, aku mengecek ponselku. Ada satu sms dari Irfan, dua sms dari Andra, dan tujuh panggilan tak terjawab dari Andra. Kubuka sms dari Irfan, ternyata isinya hanya tawa. Lalu kubuka sms pertama dari Andra. 

Sayang, I’m really truly very sorry. 
Aku ga maksud bikin kamu kesel tadi.  
Aku serius sayang sm kamu, tp aku ga mau 
klo krn itu kamu malah jauh sm aku.  
Aku tau kamu cm mau temenan aja, 
makanya tadi aku bilang lupain aja.
Please, please, please forgive me. 

Nah lho? Kok kesannya jadi aku yang salah sih?! Aku mendengus kesal. Kemudian kubuka smsnya yang kedua. 

Kamu udah tidur ya, sayang. Tidur yang nyenyak ya. 
Klo kamu mimpiin nyecek aku, aku rela kok. 
Maaf ya udah bikin malam kamu ga enak. 
Kamu jangan galau ya, sayang :*

Mau tak mau aku tersenyum membaca smsnya yang kedua. Dasar konyol! Aku pun mematikan ponsel, lalu bergelung dalam selimut kesayanganku, dan siap bermimpi mencekik Andra.

Friday, December 9, 2011 0 comments

Chapter 3

*untuk cerita sebelumnya, lihat Chapter 2* 


Beberapa hari sesudah pertemuan kami, aku mendapat telepon dari Flemy. Ia mengajak keluar, masih kangen katanya.

“Na, jalan yuk. Sama Indah juga. Mumpung lo lagi di sini ,” katanya. 

“Emang lo sama Indah lagi nggak sibuk?” tanyaku. 

“Khusus buat lo, hari ini gue sama Indah nggak sibuk. Di jamin! Hehehe...” 

“Bisa aja lo, hahaha... Rencananya mau ke mana?” 

“Nyalon aja yuk. Abis itu makan siang terus shopping. Paris van Java, jam 11. Gimana?” 

“Hmm... Yeah, okay. Suntuk juga gue di rumah nggak ngapa-ngapain,” jawabku mantab. 

“Asyik! Sampe ketemu di sana ya, Na. Nanti gue yang BBM Indah. Dah, Na.” Lalu Flemy memutuskan teleponnya. 

* * *

Setelah selesai urusan di salon, pukul 2 kami sudah di food court, siap mengisi perut yang mulai keroncongan. Ajakan Flemy untuk perawatan di salon pas sekali, di saat cuaca sedang sepanas ini. Segar rasanya setelah creambath dan massage, kepala jadi terasa lebih ringan.

“Abis ini temenin gue liat-liat wedges sama mini-dress ya. Sama gue juga mau beli maskara sama lipstick. di Centro aja,” kata Indah sambil menyeruput minumannya. 

“Nggak sekalian tas sama sepatunya, neng?” tanyaku lalu tertawa bersama Flemy. Indah mencibirkan bibirnya, khas sikapnya jika sedang kesal karena diledek. Alhasil tawa kami semakin keras. Setelah tawa kami mereda, Flemy berdehem sebelum berbicara. 

“Na, sorry nih kalo kesannya gue pengen tau banget. Eh tapi gue emang penasaran sih, hehe... Sebenernya lo sama Andra gimana sih?” tanya Flemy pelan. Aku terbatuk pelan. 

Nah kaaaan... 

Kupikir mereka tidak akan mengungkit-ungkit masalah ini lagi. Aku menatap Indah dan Flemy, yang balas menatapku dengan penasaran, sebelum menjawab pertanyaan frontal dari Flemy. 

“Lho, kan kemarin udah gue jelasin, we’re just friends, Flemy,” jawabku. 

“Tapi kok kayaknya lebih deket dari temen biasa ya? Andra perhatian banget sama lo,” Indah menyuarakan keheranannya. 

Ternyata hal yang kukhawatirkan terjadi juga, teman-temanku menangkap ada yang salah dengan sikap dan perhatian Andra kemarin. Mau tak mau rasa kesalku padanya timbul lagi.

Ini terjadi karena kamu nggak mau dengerin aku, Ra...

“Dia emang kayak gitu. Bercandaannya kan emang suka lebay. Ah, kalian kayak nggak kenal Andra aja sih,” kataku menerangkan. Hatiku kebat-kebit juga mendengar pertanyaan mereka. 

“Gini lho, Na. Kemarin setelah lo berdua cabut dari cafe, kami sempet ngobrolin kalian. Kami ngerasa kayaknya Andra tuh sengaja, malah pingin orang-orang tau kalo dia perhatian sama lo,” jelas Flemy. 

Haaaaah?!? 

“Kok bisa kalian ngerasanya gitu? Biasa aja ah,” kataku sedikit grogi. Aku mencungkil sedikit chicken steak di hadapanku untuk menutupi ketidaknyamananku. 

“Beda, Na. Cara Andra mandang lo, ngomong sama lo, ngomongin tentang lo. Kayak orang yang lagi jatuh cinta,” terang Indah menggebu-gebu. 

Uhuk, uhuk... Aku terbatuk lagi, steak yang kumakan seperti tersangkut di kerongkoranku. Segera kuteguk lemon juice sambil menepuk-nepuk dada. 

“Iya, Na. Bahkan cowok-cowok yang nggak peka aja ngerasa kayak gitu,” sambar Flemy. 

“Aduh, beneran deh. Gue sama Andra cuma temenan. Kami emang deket beberapa tahun belakangan ini, tapi nggak pacaran dan emang nggak niat buat pacaran,” jelasku pelan. 

“Lo yakin, Na? Apa Andra mikirnya sama kayak lo? Kami bukannya nggak suka atau gimana, cuma agak kaget aja. Soalnya kan setau kami... yah, bad boy kayak Andra gitu kan bukan tipe lo. Kami cuma takut lo ternyata dimainin doang sama dia,” kata Indah. Matanya menekuri wajahku. Aku semakin merasa tidak nyaman, seperti sedang diinterogasi polisi.

“Ndah, Flem, I’m sure. Kami beneran nggak pacaran. Lagian kalo emang iya, ngapain juga disembunyiin. Kalian bakalan jadi orang pertama dan kedua yang gue kasih tau,” kataku meyakinkan mereka, lau melajutkan, “dan Andra juga nggak seburuk yang kalian pikir kok. He's changed, quite a lot actually.”

“Mending lo cari tau deh, Na. Beneran nggak Andra maunya cuma temenan. Nggak enak kan kalo nanti banyak orang yang salah paham,” usul Indah menenangkan. 

”Kalo menurut gue sih ya, Na, lo berdua jadian aja lagi. Kalo ternyata Andra udah banyak berubah seperti kata lo tadi, kenapa nggak?” Kali ini Flemy berpendapat.

Aku tercenung. Kami bertiga terdiam, sebelum akhirnya Indah melanjutkan. 

“Ya udah, nggak usah dipikirin sekarang, Na. Makan aja yuk, abis itu shopping sampe pegel,” kata Indah mengakhiri percakapan yang membuatku tidak nyaman ini. Flemy tersenyum kemudian mengangguk. Kami pun sibuk dengan hidangan di hadapan masing-masing. 

* * * 

Percakapanku dengan Indah dan Flemy membuatku menelaah kembali hubunganku dengan Andra. Dia memang mantan pacarku bertahun-tahun yang lalu, tapi apakah kalau sekarang kami berteman dekat, itu berarti kami pacaran lagi? Apakah sikap Andra padaku memang menunjukkan perhatian yang berlebihan di mata orang yang melihatnya? Mengapa aku yang diberi perhatian malah cuek saja? Mungkinkah karena aku menganggap dia hanya bercanda? Bukankah dia memang hanya sekedar iseng dengan panggilan ‘sayang’ dan ‘aku-kamu’? 

Bagaimana kalau aku salah? Bagaimana jika dia memang punya perasaan lebih kepadaku? Apakah Andra memang ingin menunjukkan kepada orang lain bahwa kami lebih dari sekedar teman? Ah, masalah ini membuatku sulit menentukan sikap. Aku mau bersikap biasa saja agar orang lain tidak salah paham, tapi takutnya perasaan Andra memang lain dan malah akan menyakitinya. Jika aku memberi perhatian lebih padanya, takutnya aku malah yang salah paham. Lalu aku harus bagaimana? 

Aku juga memikirkan pertanyaan Flemy, mengapa kami tidak pacaran lagi saja? Apakah ada yang salah dengan itu? Toh kami masih sama-sama jomblo. Lalu mengingat kejadian sewaktu reuni, mengapa aku tidak ingin teman-teman tahu kedekatanku dengan Andra? Apakah semata karena tidak ingin menimbulkan salah paham? Atau... 

Kriiiiing... Kriiiiing... 

Andra. Aku menghela napas panjang sebelum mengangkat teleponnya. 

“Ya, Ra?” Aku memang selalu memanggilnya 'Ra' atau 'Andra', bukan 'Ndra' seperti yang lain. Aku ingat dulu alasanku adalah karena 'Ndra' mengingatkanku pada 'Mandra', yang hanya dijawab tawa geli olehnya.  Sepertinya bagiku sebutan 'Ra' lebih enak didengar ketimbang 'Ndra'. 

“Sayang, kamu di rumah kan? Lagi banyak kerjaan nggak?” Ini salah satu nilai lebih Andra di mataku. He’s straight to the point, sangat jarang basa-basi. Aku kurang suka sama cowok yang banyak ‘pendahuluannya’ sebelum sampai ke ‘pembahasan’. 

“Iya, lagi di rumah. You know I’m home for vacation, pastinya nggak ngapa-ngapain. Kenapa?” tanyaku. Aku tidak pernah mau menggunakan kata ‘sayang’ favoritnya, tapi kali ini juga tidak mau menyakitinya dengan bersikap beda dari biasanya. 

“Aku mau ngajak kamu nonton. Kamu suka Transformer dan belum nonton kan?” 

Aku terdiam sebentar untuk berpikir. Kalau aku ikut, takutnya kami akan semakin lengket. Kami memang sering keluar untuk sekedar makan, nonton, atau cari buku jika aku sedang ada di Bandung, jika Andra sedang tidak sibuk di kantornya. Kalau aku sedang malas keluar, biasanya dia akan menemaniku di rumah, membantuku memasak bersama Mama atau sekedar ngobrol ngalor-ngidul bersama Papa. Andra memang sudah dekat dengan keluargaku. 

“Sayang? Kamu nggak mau nonton ya? Lagi males keluar?” Pertanyaan Aldi membuyarkan lamunanku. Ia terdengar agak kecewa. 

“Eh, sorry. Transformer 3 ya? Hmm, jam berapa mainnya?” 

“Nonton yang sore aja ya? How about five? Then we can dine after that,” usul Aldi. Hmm, sounds good

“Oke deh. Nonton di Ciwalk aja ya, udah lama nggak ke sana. Kamu dari kantor jam berapa?” Padahal Cihampelas cukup jauh dari tempat kerja Andra belum lagi kalau macet. Aku sengaja ingin menguji apakah dia mau menuruti keinginanku, ingin tahu isi hatinya. 

“Hmm, Ciwalk ya?” Dia seperti agak keberatan, tapi kemudian memutuskan. “Okay. I’ll pick you up at four then. Aku dari kantor jam tiga aja.” Tuh kan, dia memang selalu mengalah. 

“Nggak apa-apa jam tiga udah kabur? Kerjaan kamu gimana?” tanyaku untuk memastikan. 

That’s okay, honey. Lagi nggak banyak kerjaan kok, nanti kalo ada kerjaan dadakan aku serahin ke Roni aja,” jelas Aldi menyebutkan salah satu nama teman kerjanya. Aldi bekerja sebagai fotografer. Dia dan beberapa temannya membuka studio foto profesional. Aku sudah pernah beberapa kali diajak ke sana. Terlihat sekali dia senang dan bangga dengan pekerjaannya sekarang. Bisa dibilang kamera adalah pacar keduanya, jika saja saat ini dia punya pacar. 

Okay then. Aku tunggu jam empat ya. Dah,” aku mengakhiri percakapan, lalu langsung sibuk memilih baju yang akan kukenakan. Setelah selesai, aku menuju kamar mandi sambil berdoa dalam hati, semoga Tuhan menuntunku ke arah yang terbaik untuk aku dan Andra.

Thursday, December 8, 2011 0 comments

The Ending


Kisah kita berawal beberapa tahun silam...


Pikiranku mengembara mundur ke masa itu. Masa di mana semua tentang kita selalu berhasil membuatku tersenyum. Masa di mana aku bebas menunjukkan perhatianku padamu. Masa di mana kamu selalu berada dalam jarak pandangku. Masa di mana kita berdua bisa tertawa tanpa beban. Tetapi itu setahun yang lalu, sayang. Saat aku masih lugu. Saat aku belum tahu bahwa akhirnya akan jadi seperti ini. Saat kau masih ragu untuk menunjukkan aslimu. Saat kau belum jauh melanggar prinsip hidupmu itu. Saat kita masih menikmati keadaan tanpa berpikir terlalu jauh.

Lalu kita berpisah jarak. Kamu bilang, perasaan 'sayang'mu padaku hanya permainan jarak. Kemudian aku menyalahkan jarak atas perginya kamu. Ah, jarak memang lihai sekali mempermainkan perasaan. Ya, setelah semua kisah indah itu, kamu tiba-tiba menghilang. Tanpa kabar, tanpa jejak. Aku menunggu dalam diam, dalam diam pula aku belajar membencimu, membencimu dengan segala beban kenangan yang menyesakkan.

Semua kenangan itu... Ah, cukup sudah. Semakin mengingatnya, aku semakin sakit.

Kemudian tiba-tiba kamu muncul kembali. Nyata, dengan sikap manis dan semua perhatianmu. Seolah-olah aku adalah penghuni tetap relung hatimu yang tidak pernah sekalipun kau tinggalkan. Saat itu aku bertanya, ada apa gerangan? Dulu kamu menghindar, tapi mengapa tiba-tiba kamu menarikku kembali? Aku bingung, aku galau. Lalu rasa lama yang pernah singgah di hatiku pun datang lagi, cepat tanpa bisa kucegah.

Kamu terus membuat perasaanku seperti terombang-ambing di tengah lautan. Terus. Hingga hari itu.

Hari itu kamu membeberkan semuanya, di hadapanku. Akhirnya kamu berhasil mengumpulkan keberanianmu, walaupun perlu kupaksa. Aku bertanya, mengapa kamu tiba-tiba menjauh. Kamu bilang ada alasannya mengapa kita tidak bisa terus dekat, tapi kamu belum bisa cerita. Aku bilang aku ingin semuanya jelas, tidak ada yang perlu ditutup-tutupi. Kamu bertanya apakah permintaanmu terlalu banyak jika kita berteman saja. Aku terdiam lalu menjawab, akan kucoba. Kamu bilang kamu minta maaf karena membiarkan kedekatan kita terlalu jauh. Aku bilang aku minta maaf karena sudah salah paham atas sikapmu. Kamu bilang aku boleh marah padamu. Aku bilang aku hanya kecewa.

Kamu tahu apa yang paling membuatku sedih? Sampai sekarang, aku tidak tahu (atau lebih tepatnya tidak berani mencari tahu) apakah perasaanku pernah terbalas. Dulu aku pikir kisah 'kita' akan berlanjut, terus hingga waktu yang tidak bisa dihitung dengan jari. Ternyata aku baru sadar bahwa sebenarnya 'kita' adalah semu. 'Kita' hanya sekedar bayanganku karena kamu tidak pernah memaknai 'kita' dengan sepenuh hati. 'Kita' cuma hidup dalam angan masa laluku, bukan masa lalumu. 'Kita' tidak akan pernah benar-benar menjadi KITA.

Kamu bilang kamu tahu aku marah padamu. Tetapi kenyataannya aku tidak marah, aku tidak bisa marah. Kamu bilang aku boleh membencimu. Tetapi apakah bisa aku membenci dan mencintaimu di saat yang bersamaan? Kamu bilang kamu ingin kita tetap berteman baik. Tetapi aku tidak bisa karena sekarang aku benar-benar membencimu.

Kita tidak akan bisa berteman lagi. Tidak, jika aku masih membencimu karena pernah benar-benar mecintaimu.


*renewed based on reality*
Wednesday, December 7, 2011 0 comments

Seperti Aku dan Kamu


Here, just wanna share a good poetry.



Seperti Itu


seperti kau yang tersenyum menghirup aroma kopi
sebab ia dan pahitnya meredam kecamuk dalam kepalamu

seperti itu aku terpaku di depan secangkir teh, sendiri
sebab di tenang beningnya terpantul kenangan tentangmu

seperti kau yang menyukai gelapnya malam sebab
ia menuntunmu kembali ke dalam cahaya baru

seperti itu pula aku yang menyukai pagi
sebab di situ aku mulai mencintaimu lagi



Reblogged from Bisikan Busuk, written by Falla Adinda.

Sunday, December 4, 2011 0 comments

Jar of Hearts




by Christina Perri


No, I can't take one more step towards you
'Cause all that's waiting is regret
Don't you know I'm not your ghost anymore
You lost the love I loved the most
I learned to live half alive
And now you want me one more time

[Chorus:]
And who do you think you are?
Runnin' 'round leaving scars
Collecting your jar of hearts
And tearing love apart
You're gonna catch a cold
From the ice inside your soul
So don't come back for me
Who do you think you are?

I hear you're asking all around
If I am anywhere to be found
But I have grown too strong
To ever fall back in your arms
I've learned to live half alive
And now you want me one more time

[Back to Chorus]

Dear, It took so long just to feel all right
Remember how to put back the light in my eyes
I wish I had missed the first time that we kissed
'Cause you broke all your promises
And now you're back
You don't get to get me back

[Back to Chorus]

Who do you think you are?


Saturday, December 3, 2011 0 comments

Are These Enough 'Nyampah'?


Beberapa waktu yang lalu saya pernah ngetwit semacam yang di bawah ini. Yah, semacam nyeleneh 'ala anak TPHP, hehehe.. Tiba-tiba kepikiran untuk masukin ke blog. So, selamat menikmati.


1. Aduh, pusing nih | Kenapa? | Gw sama pacar beda bgt kayak minyak & air | Gampaaang pake emulsifier dong biar nge-blend | ... #kemudianhening


2. Cuy, gw lg deketin cewek nih. Kasih saran dong | Pake asam askorbat laaah buat menghalau radikal bebas dari cowok2 lain | ... #kemudianhening


3. Gw takut dia selingkuh deh | Mau tau resepnya supaya pacar setia? | *mengangguk* | Pilih yang amilopektin-nya banyak, kan lengket tuh | ... #kemudianhening


4. Lo baru putus? | *mengangguk* Knp ya kok cinta gw ga tahan lama? | Oh perlu natrium benzoat tuh buat pengawet | ... #kemudianhening


5. Gue bingung nih. Pacar gue skrg moody bgt, kadang manis kadang asem | Mungkin produksi asam laktatnya berlebih, pH-nya turun, asem deh | ... #kemudianhening


6. Dulu waktu ibu kamu mengandung kamu, ngidamnya kopi ya? | Lho kok tau? | Soalnya kamu kayak kafein sih, bikin aku ketagihan.. #gombalscience


7. Kamu tau ga kenapa aku suka kasih kamu coklat? | Kenapa? | Krn theobromine di coklat bisa bikin perasaan kamu tenang, kyk aku klo deket2 kamu.. #gombalscience


8. Sayang, tau kan klo macam2 rasa itu ada 5? | Tau. Manis, asin, asam, pahit, gurih kan? | Klo buat aku bukan gurih, tp rasa pedih klo ditinggal kamu.. #gombalscience


9. Sini deh aku ksh tau sesuatu | Apa? | Aku mau kita keren kyk wine | Kok bisa? | Krn umurnya makin tua bukannya rusak tp kualitasnya malah makin baik.. #gombalscience


10. Bapak kamu dosen mikrobiologi pangan ya? | Ha? Kenapa emang? | Abis klo sama kamu anget terus sih kayak suhu pas bakteri fermentasi.. #gombalscience


That's it! Syukur kalo ada yang merasa terhibur, maap kalo agak ngawur. Hidup Indonesia! :D

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

 
;