“Kamu cantik. As usual,” kata Andra sewaktu menjemputku di rumah. Aku hanya tersenyum mendengarnya, seperti sudah kebal dengan gombalannya. “Pamit dulu yuk,” ajaknya sambil masuk ke ruang tamu.
Aku memanggil Papa. Andra memang lebih suka pamit pada papaku ketimbang mamaku, menghormati kepala keluarga katanya. Dia langsung berdiri saat Papa masuk ke ruang tamu.
“Oom, saya mau ajak Nina nonton di Ciwalk. Nanti pulangnya sekalian makan di sana,” jelasnya tanpa basa-basi.
“Oh iya, silahkan. Pulangnya jangan malam-malam ya, Ndra,” ujar Papa.
“Pasti, Oom. Sebelum jam 10 udah aman sampai di rumah,” kata Andra tersenyum sambil mengacungkan jempol.
“Pergi dulu ya, Pa,” lalu mencium tangan Papa. “Ma, pamit!” teriakku pada Mama yang sedang berada di ruang kerjanya.
Sesampainya di Ciwalk kami langsung menuju XXI. Tak disangka-sangka saat sedang mengantri membeli popcorn, ada yang menepuk bahuku. Irfan.
“Hei,” kataku menyapa. “Mau nonton juga, Fan?”
“Kagak, mau beli baju. Ya iyalah, Nin," jawabnya dengan nada lucu. Aku pun tertawa, memang aneh juga pertanyaanku. "Gue mau nonton Transformer. Nih, sama temen-temen kantor,” lanjut Irfan seraya menunjuk rombongan di belakangnya.
“Hahaha... Sama dong, gue juga mau nonton Transformer.”
“Lo nonton sendiri? Gabung aja sama kita,” ajak Irfan.
“Eh, itu, gue sama...” Belum sempat aku menjawab, sudah ada yang menyela.
“Bro! Nonton Transformer juga?” Tiba-tiba Andra sudah ada di sampingku dengan dua tiket di tangannya. Wajahku berubah masam begitu melihat cengiran Irfan dan tahu apa yang ada di pikirannya.
Oh, crap!
“Eh, iya nih, Ndra. Sama temen-temen kantor. Kalian cuma berdua?” tanyanya menyindir. Andra hanya tertawa. Tak lama, pengumuman studio 2 tempat Transformer diputar sudah menggema.
“Ya udah, Fan. Kami duluan ya,” kata Andra. Aku melambaikan tangan ke arah Irfan lalu kami berbalik berjalan ke arah studio 2.
Baru beberapa langkah kurasakan tangan Andra memeluk pinggangku sampai kami memasuki studio 2. Aku langsung teringat teori teman-temanku dan aku jadi takut mereka benar. Jelas dia ingin menunjukkannya ke Irfan karena dia tahu Irfan masih memperhatikan kami. Tapi mengapa aku malah takut, bukannya harusnya aku merasa senang? Karena Andra serius dengan perhatiannya, bukan hanya bercanda. Aku menatapnya dengan pandangan menyelidik.
“Kamu kenapa, sayang? Ada sesuatu ya di mukaku?” tanyanya bingung, tangannya meraba wajahnya.
“Hah? Oh, nggak kok, nggak ada apa-apa. Nih,” jawabku lalu menyodorkan popcorn. Selanjutnya pikiranku teralihkan karena menonton film. Tapi tidak lama. Satu setengah jam kemudian, setelah film selesai, aku kembali sibuk memikirkan sikap Andra yang semakin frontal.
“Kita mau makan di mana, Ra?” tanyaku setelah keluar dari bioskop. Mataku sempat mencari sosok Irfan, berharap semoga tidak bertemu dengannya lagi. Aku tidak tahan melihat tatapan heran dan ingin tahunya itu.
“Kamu lagi kepingin makan apa? Chinese, Western, or Indonesian?” Andra balik bertanya.
“Hmm, apa ya? Kita ke food court dulu aja deh yuk,” ajakku.
Nasib baik memang sedang tidak berpihak padaku. Setelah kami memutuskan akan makan di mana, di situlah kami bertemu lagi dengan Irfan dan teman-temannya.
“Hei, Bro! Ketemu lagi, hahaha...” sapa Andra. “Yuk, Nin, di sana aja yang non-smoking. Kamu kan nggak tahan asap rokok,” ajak Andra sambil menggandeng tanganku. Aku melihat pandangan Irfan mengikuti kepergian kami
Saat menunggu makanan pesanan kami. Ada sms masuk ke ponselku. Irfan. Aku menatap bingung ke arahnya, tapi dia sengaja mengalihkan pandangan. Ku buka smsnya
Lo ga tahan asap rokok, tp jalan sm perokok. Gw bingung.
Aku tersenyum kecut, lalu membalas.
Andra ga pernah ngerokok klo lg jalan sm gue.
Tak lama datang lagi balasan dari Irfan.
Sejak kpn kalian ber-aku-kamu gt? Knp ga ngaku aja sih nin, klo kalian pacaran? Kalian cocok lho padahal :D
Astaga! Bahkaaaan... Aku kembali mengarahkan pandangan ke Irfan dan dia hanya nyengir kuda. Aku mendengus lalu mengetik balasannya.
Tau ah! Udah ya, gue makan dulu.
Balasanku kukirim setelah makananku datang, agar pikiranku teralihkan padanya. Hmm, makanan lezat memang penawar yang tepat di saat seperti ini, hehehe...
“Siapa yang sms? Kok kayak kesel gitu?” tanya Andra. Tangannya sibuk memisahkan daun bawang dalam sapo tahu seafoodnya. Dia paling anti dengan daun bawang dan bawang goreng.
“Temen. Udah dibilangin berkali-kali, tapi masih ngeyel. Bikin sebel aja,” kataku sambil terus menyuap nasi goreng special ekstra pedas di hadapanku.
“Ooh... Hei, pelan-pelan dong, sayang. Kamu kebiasaan deh kalo lagi kesel makannya kayak kejar setoran. Tuh, ada nasi di pipi kamu,” ujar Andra sambil tertawa, tangannya membersihkan nasi yang menempel di pipiku.
Terdengar bunyi sms lagi dari ponselku. Kulirik sekilas, Irfan lagi! Aku sudah mengira apa yang akan dikomentarinya, lebih baik nanti saja kubuka jika sudah selesai makan. Akhirnya aku berkonsentrasi pada makananku, tanpa mempedulikan perlakuan Andra yang jadi supermanis. Kuterima saja semua perhatiannya dengan anggukan kepala dan senyum (dipaksakan) manis. Aku tahu semua itu hanya untuk pamer di depan Irfan. Lalu datang lagi sms dari Irfan, yang tetap tak kuhiraukan. Lama-lama jengah juga dengan perhatian Andra dan tatapan Irfan di seberang sana yang mengira kami pacaran. Aku pun mengajak Andra pulang. Sesampainya di mobil, kubuka sms-sms dari Irfan. Yang pertama:
Cieee mesra banget sih, jadi iri nih :p
Kampret! Kubuka smsnya yang kedua:
Nanti klo udah siap konferensi pers blg2 ya. Semoga langgeng..
Kampret kuadrat!! Akhirnya aku membalas smsnya.
Ngaco lo ah!
Lalu ku-silent ponselku dan kumasukkan dalam tas. Aku kembali menekuri wajah Andra. Seperti menyadari tengah diperhatikan, dia balas menatapku.
“Kenapa sih? Aku ganteng banget ya sampe kamu terpesona dan merhatiin mukaku terus dari tadi?” katanya dengan senyum jahil.
“Did you hit your head or something? Kenapa sih beberapa hari ini jadi beda?” Aku langsung menyerangnya. Seketika alisnya bertaut, tanda bahwa dia bingung.
“Hah? Aku nggak ngerti. Emang beda gimana?” tanyanya
“Jadi lebay, sejak reuni dua minggu yang lalu,” jawabku terus terang.
“Lebay? Perasaan aku biasa-biasa aja deh. Kamu ih, aneh banget deh,” ujarnya geleng-geleng.
“Iya, lebay. Lebay perhatiannya terutama di depan temen-temen SMP kita. Kesannya kayak kamu lagi berusaha ngeyakinin mereka kalo emang ada apa-apa di antara kita.”
“Oh, itu yang bikin kamu uring-uringan terus dari kemarin-kemarin." Andra terdiam sejenak sebelum melanjutkan, "Terus kalo emang ternyata aku sengaja, gimana?”
Aku ternganga menatapnya. Semudah itukah dia mengaku?
“Kalo ternyata aku serius perhatian dan sayang sama kamu, gimana?” tanyanya lagi.
OMG!!
Karena tidak kunjung mendapat jawaban dari aku yang sedang berusaha mencerna kata-katanya, akhirnya kami membiarkan musik jazz dari radio memecah keheningan di antara kami. Hingga mobil sampai di depan pintu rumahku. Andra mematikan mesin mobil, kami masih terdiam. Ketika aku bersiap membuka pintu mobil, tangan Andra menahanku.
“Sayang, pertanyaanku tadi... lupain aja ya?” katanya sambil menatap lurus kepadaku.
What?!? After saying those words, you told me to just forget about that?!? Monyong!!!
“Okay, fine! Kamu nggak usah pamit, biar nanti aku bilang Papa kalo kamu buru-buru,” jawabku seraya menutup pintu mobil dengan kencang lalu berjalan setengah berlari masuk ke halaman. Tak kuhiraukan panggilan-panggilannya. Kutekan bel dan menunggu Papa membukakan pintu, lalu kudapati wajah bingung Papa karena melihatku sendiri.
“Lho? Andra mana? Kok nggak pamitan?”
“Mati!” jawabku judes, lalu berjalan tergesa masuk ke kamar. Aku sempat melihat Mama geleng-geleng, yang ditimpali Papa dengan ucapan ‘anak muda’.
Kurang ajar! Apa-apaan tuh anak?! Mana bisa habis bilang kalau dia serius lalu tiba-tiba memintaku melupakan ucapannya?!?
Dasar sompret!
Aku memutuskan untuk mandi supaya pikiranku sedikit jernih lalu langsung tidur saja. Ternyata capek pikiran membuat tubuhku ikut lelah. Setelah berganti piyama dan mematikan lampu, aku mengecek ponselku. Ada satu sms dari Irfan, dua sms dari Andra, dan tujuh panggilan tak terjawab dari Andra. Kubuka sms dari Irfan, ternyata isinya hanya tawa. Lalu kubuka sms pertama dari Andra.
Sayang, I’m really truly very sorry.
Aku ga maksud bikin kamu kesel tadi.
Aku serius sayang sm kamu, tp aku ga mau
klo krn itu kamu malah jauh sm aku.
Aku tau kamu cm mau temenan aja,
makanya tadi aku bilang lupain aja.
Please, please, please forgive me.
Nah lho? Kok kesannya jadi aku yang salah sih?! Aku mendengus kesal. Kemudian kubuka smsnya yang kedua.
Kamu udah tidur ya, sayang. Tidur yang nyenyak ya.
Klo kamu mimpiin nyecek aku, aku rela kok.
Maaf ya udah bikin malam kamu ga enak.
Kamu jangan galau ya, sayang :*
Mau tak mau aku tersenyum membaca smsnya yang kedua. Dasar konyol! Aku pun mematikan ponsel, lalu bergelung dalam selimut kesayanganku, dan siap bermimpi mencekik Andra.