*untuk cerita sebelumnya lihat Chapter 1*
Setelah acara usai, kami yaitu aku, Andra, Flemy, Indah, Ferry, dan Lisa, pindah lokasi ke salah satu cafe di Cihampelas untuk melanjutkan obrolan kami. Menurut Flemy yang sudah biasa ‘nongkrong’ di sana, suasanannya nyaman untuk sekedar ngobrol sambil menyeruput espresso atau ice cappucino yang rasanya oke punya. Sesampainya di sana, setelah diperkenalkan kepada Manager On Duty (MOD) oleh Flemy dan memesan panganan, kami pun memilih spot yang enak untuk duduk. Obrolan pun mengalir lancar dengan ditemani live music dan makanan dan minuman ringan yang kami pesan.
“Jadi gimana guys, lagi pada sibuk apa nih kalian?” tanya Indah.
“Yah, kalo gue sih masih kuliah, Ndah, mau nyelesaiin skripsi. Lo juga kan, Lis, Mbak?” Farid menjawab lalu bertanya padaku dan Lisa. Ferry biasa memanggilku Mbak sejak SMP karena kami memang sudah seperti adik-kakak.
“Iya. Gue juga lagi ngerjain skripsi sambil ngajar di TK Internasional,” sambung Lisa.
“Gue denger katanya lo di Lampung, Nin? Terus nanti mau kerja di Lampung juga? Betah amat lo.” Kali ini giliran Irfan yang berbicara.
“Hahaha, betah lah. Biaya hidup nggak mahal, nggak ribet macet kayak di Bandung. Gue sih maunya kerja di luar kota, tapi nyokap nyuruh balik setelah lulus. Jaga rumah,” jelasku sambil nyengir.
“Sebenernya Nina maunya kerja di Bandung dan sekitarnya biar bisa deket-deket gue. Gue kan pindah ke Jatinangor,” kata Andra sambil melirik ke arahku.
Whaaaaaaat?!?
“Idih, pede amat deh lo, Ndra!” sembur Indah.
“Tau nih, emang gue pernah bilang gitu? Weeeek!” Aku menjulurkan lidah dengan sengit ke arah Andra.
“Hahahahaha, santai lah. Gue kan cuma bercanda,” lanjut Andra tenang, kemudian tangannya mengacak-acak rambutku. Bibirku maju sambil menepis tangannya.
Ah, si Andra kesambet apaan sih?!? Aku melihat pandangan menyelidik dari Ferry.
“Lho, katanya tadi rumah lo deket Nina. Makanya tadi kalian berangkat bareng kan?” tanya Irfan memastikan.
“Rumah yang di Bandung kan rumah nenek gue, Fan. Bokap sama nyokap sekarang di Nangor,” jelas Andra tenang.
“Lo sendiri sibuk apa, Ndah? Dari foto-foto kalian di FB kayaknya sering banget ngumpul bareng Flemy. Jadi iri deh,” tanyaku pada Indah untuk menutupi rasa kesalku. Dari pada salah tingkah kan...
“Hehehe, ya begitulah, Na. Gue emang sering jalan bareng sama Flemy dan temen-temennya. Sekalian nawarin dagangan gue, sekarang kan gue buka butik on-line. Kalian harus liat lho, cek aja di FB gue,” jawab Indah sambil promosi.
“Kalian mah enak, yang di sini bisa ngumpul kapan aja, kalo lagi kangen dan ada waktu senggang. Lha gue? Mikir ongkos gue kalo sering-sering pulang. Kalian dateng dong main ke Lampung, nanti gue ajak jalan-jalan deh, hehehe...” kataku menawarkan.
“Wah, boleh banget tuh. Gue belom pernah ke Lampung nih,” sambung Lisa penuh semangat.
“Sama, gue juga,” kata Irfan dengan muka sedih yang dibuat-buat. Alhasil kami semua tertawa.
“Nah, makanya ayo pada main. Nggak perlu biaya banyak kok, kalo pake prinsip backpacker. Bisa wisata alam, budaya, kuliner. A whole package!” jelasku berapi-api.
“Ih si Mbak, semangat amat. Hahaha...” sambar Ferry. Aku tersenyum malu.
“Makan itu Nin, apa deh namanya yang pake sambel tempoyak? Yang ikan itu,” tanya Andra sambil mengingat-ingat.
“Oh, seruit. Itu makanan khas Lampung, ikan goreng atau bakar dimakan sama sambel terasi sama tempoyak. Gue tau tempat makan yang lumayan enak dan murah lho,” jelasku kemudian sambil promosi.
“Iya, enak deh. Terus makan engkak yang kayak kue lapis itu. Kapan-kapan ke sana lagi yuk,” lanjut Andra, memamerkan senyum manisnya. Aku jadi ikut tersenyum sambil mengangguk. Kemudian tiba-tiba aku tersadar.
Lho kok hening?
Saat memandang ke sekeliling ternyata mereka tengah memperhatikan aku dan Andra dengan tatapan yang ganjil. Andra yang duduk di sebelahku sepertinya belum sadar perubahan atmosfir di meja kami. Ia masih memandangiku dengan menyunggingkan senyum khasnya.
“Lagi? Ooooh, jadi ceritanya udah pernah jalan-jalan berdua nih,” ledek Flemy.
“Ciyeee, jahat ih nggak ngajak-ngajak,” sambung Irfan.
“Mbak, seriusan? Ada apa sih, kalian berdua nih?” tanya Ferry dengan tatapan curiga.
“Apaan sih? Nggak ada apa-apa kok. Waktu itu Andra ke Lampung karena urusan kerjaan, terus dia minta dianterin cari makanan enak. Gitu!” jelasku agak terburu-buru.
“Ahahaha, kalian gampang banget kepancing ya.” Andra terbahak-bahak.
Kampret!
Maka malam itu pun sepenuhnya dihabiskan untuk meledekku dan Andra. Ya memang sudah nasib, mau ngomong apa juga pasti bisa 'ditangkis' sama mereka. Tak terasa waktu sudah menjukkan pukul 11 lewat. Andra yang sepertinya melihatku melirik jam tangan, berbisik, “Pulang sekarang yuk. Tadi aku janji sama papa kamu that you’ll be home before midnight.”
Aku mengangguk kemudian pamit ke teman-teman yang lain. Aku sadar mereka masih menyimpan rasa penasaran terhadap sikap kami berdua. Seandainya saja tadi kami tidak berangkat berdua pasti hasilnya tidak akan seperti ini.
Huuuff... Kuhembuskan napas keras.
“Kamu gimana sih, kan kemarin udah janji jangan bikin temen-temen curiga. Kalo kayak tadi, itu mah mereka bukan curiga lagi, tapi hampir yakin kalo ada apa-apa di antara kita,” semburku begitu kami sudah berada di dalam mobilnya.
“Lho, emang aku ngapain? Kita kan nggak ber-aku-kamu. Selebihnya tadi aku kan cuma bercanda, mereka juga pasti ngerti,” elak Andra.
“You don’t understand. Pandangan mereka udah beda ke kita. Dengan kita dateng bareng aja mereka udah curiga, ditambah lagi kamu mancing-mancing gitu. Kamu sengaja ya bikin aku kesel?” tuduhku. Bibirku kumanyunkan lagi.
“Kamu nih kelewatan khawatir deh. Lagian emang kenapa kalo mereka pikir di antara kita ada apa-apa? Yang penting kan sebenernya kita cuma temenan. Kenapa sih, kamu takut ada yang cemburu ya?” Andra bertanya dengan pandangan curiga. “Kamu takut cowok yang lagi deket sama kamu di Lampung sana marah? Just... relax. He’ll never gonna find out about this,” Kali ini aku mendengar nada tidak suka pada suaranya. Sebenarnya aku juga bingung mengapa aku bisa sekesal itu. Aku melirik sekilas ke arahnya, lalu menghembuskan napas berat, sebelum melanjutkan.
“Bukan begitu. Aku cuma takut temen-temen salah paham. That’s all.” Lalu kami terdiam sampai mobil yang kami kendarai tiba di depan rumahku. Andra mematikan mesin mobil kemudian berbicara pelan sambil menatapku.
“Maaf ya, sayang. Mungkin tadi aku emang kelewatan bercandanya.”
“Iya, nggak apa-apa kok. Maaf juga kalo tadi reaksiku berlebihan. Ya udah, aku masuk dulu ya,” jawabku.
“Aku anter, tadi kan aku ketemu orang tuamu sebelum pergi, jadi sekarang juga harus pamit,” kata Andra sambil tersenyum. Kebiasaannya yang satu ini selalu membuat orang tuaku merasa aman jika aku bepergian dengan Andra. Kami lekas turun dari mobil dan masuk ke gerbang rumahku menuju teras. Papaku yang keluar membukakan pintu. Setelah meminta maaf karena pulang terlalu malam dan berbincang sebentar dengan Papa, Andra pamit pulang.
“Makasih ya, for picking me up and taking me home tonight,” kataku saat mengantar Andra ke mobilnya.
“Never mind, honey. Apa sih yang nggak buat kamu,” jawab Andra sambil mengedipkan sebelah matanya, lalu melambaikan tangannya dan melaju meninggalkan rumahku.
Ah, dasar raja gombal!
0 comments:
Post a Comment