Friday, December 9, 2011

Chapter 3

*untuk cerita sebelumnya, lihat Chapter 2* 


Beberapa hari sesudah pertemuan kami, aku mendapat telepon dari Flemy. Ia mengajak keluar, masih kangen katanya.

“Na, jalan yuk. Sama Indah juga. Mumpung lo lagi di sini ,” katanya. 

“Emang lo sama Indah lagi nggak sibuk?” tanyaku. 

“Khusus buat lo, hari ini gue sama Indah nggak sibuk. Di jamin! Hehehe...” 

“Bisa aja lo, hahaha... Rencananya mau ke mana?” 

“Nyalon aja yuk. Abis itu makan siang terus shopping. Paris van Java, jam 11. Gimana?” 

“Hmm... Yeah, okay. Suntuk juga gue di rumah nggak ngapa-ngapain,” jawabku mantab. 

“Asyik! Sampe ketemu di sana ya, Na. Nanti gue yang BBM Indah. Dah, Na.” Lalu Flemy memutuskan teleponnya. 

* * *

Setelah selesai urusan di salon, pukul 2 kami sudah di food court, siap mengisi perut yang mulai keroncongan. Ajakan Flemy untuk perawatan di salon pas sekali, di saat cuaca sedang sepanas ini. Segar rasanya setelah creambath dan massage, kepala jadi terasa lebih ringan.

“Abis ini temenin gue liat-liat wedges sama mini-dress ya. Sama gue juga mau beli maskara sama lipstick. di Centro aja,” kata Indah sambil menyeruput minumannya. 

“Nggak sekalian tas sama sepatunya, neng?” tanyaku lalu tertawa bersama Flemy. Indah mencibirkan bibirnya, khas sikapnya jika sedang kesal karena diledek. Alhasil tawa kami semakin keras. Setelah tawa kami mereda, Flemy berdehem sebelum berbicara. 

“Na, sorry nih kalo kesannya gue pengen tau banget. Eh tapi gue emang penasaran sih, hehe... Sebenernya lo sama Andra gimana sih?” tanya Flemy pelan. Aku terbatuk pelan. 

Nah kaaaan... 

Kupikir mereka tidak akan mengungkit-ungkit masalah ini lagi. Aku menatap Indah dan Flemy, yang balas menatapku dengan penasaran, sebelum menjawab pertanyaan frontal dari Flemy. 

“Lho, kan kemarin udah gue jelasin, we’re just friends, Flemy,” jawabku. 

“Tapi kok kayaknya lebih deket dari temen biasa ya? Andra perhatian banget sama lo,” Indah menyuarakan keheranannya. 

Ternyata hal yang kukhawatirkan terjadi juga, teman-temanku menangkap ada yang salah dengan sikap dan perhatian Andra kemarin. Mau tak mau rasa kesalku padanya timbul lagi.

Ini terjadi karena kamu nggak mau dengerin aku, Ra...

“Dia emang kayak gitu. Bercandaannya kan emang suka lebay. Ah, kalian kayak nggak kenal Andra aja sih,” kataku menerangkan. Hatiku kebat-kebit juga mendengar pertanyaan mereka. 

“Gini lho, Na. Kemarin setelah lo berdua cabut dari cafe, kami sempet ngobrolin kalian. Kami ngerasa kayaknya Andra tuh sengaja, malah pingin orang-orang tau kalo dia perhatian sama lo,” jelas Flemy. 

Haaaaah?!? 

“Kok bisa kalian ngerasanya gitu? Biasa aja ah,” kataku sedikit grogi. Aku mencungkil sedikit chicken steak di hadapanku untuk menutupi ketidaknyamananku. 

“Beda, Na. Cara Andra mandang lo, ngomong sama lo, ngomongin tentang lo. Kayak orang yang lagi jatuh cinta,” terang Indah menggebu-gebu. 

Uhuk, uhuk... Aku terbatuk lagi, steak yang kumakan seperti tersangkut di kerongkoranku. Segera kuteguk lemon juice sambil menepuk-nepuk dada. 

“Iya, Na. Bahkan cowok-cowok yang nggak peka aja ngerasa kayak gitu,” sambar Flemy. 

“Aduh, beneran deh. Gue sama Andra cuma temenan. Kami emang deket beberapa tahun belakangan ini, tapi nggak pacaran dan emang nggak niat buat pacaran,” jelasku pelan. 

“Lo yakin, Na? Apa Andra mikirnya sama kayak lo? Kami bukannya nggak suka atau gimana, cuma agak kaget aja. Soalnya kan setau kami... yah, bad boy kayak Andra gitu kan bukan tipe lo. Kami cuma takut lo ternyata dimainin doang sama dia,” kata Indah. Matanya menekuri wajahku. Aku semakin merasa tidak nyaman, seperti sedang diinterogasi polisi.

“Ndah, Flem, I’m sure. Kami beneran nggak pacaran. Lagian kalo emang iya, ngapain juga disembunyiin. Kalian bakalan jadi orang pertama dan kedua yang gue kasih tau,” kataku meyakinkan mereka, lau melajutkan, “dan Andra juga nggak seburuk yang kalian pikir kok. He's changed, quite a lot actually.”

“Mending lo cari tau deh, Na. Beneran nggak Andra maunya cuma temenan. Nggak enak kan kalo nanti banyak orang yang salah paham,” usul Indah menenangkan. 

”Kalo menurut gue sih ya, Na, lo berdua jadian aja lagi. Kalo ternyata Andra udah banyak berubah seperti kata lo tadi, kenapa nggak?” Kali ini Flemy berpendapat.

Aku tercenung. Kami bertiga terdiam, sebelum akhirnya Indah melanjutkan. 

“Ya udah, nggak usah dipikirin sekarang, Na. Makan aja yuk, abis itu shopping sampe pegel,” kata Indah mengakhiri percakapan yang membuatku tidak nyaman ini. Flemy tersenyum kemudian mengangguk. Kami pun sibuk dengan hidangan di hadapan masing-masing. 

* * * 

Percakapanku dengan Indah dan Flemy membuatku menelaah kembali hubunganku dengan Andra. Dia memang mantan pacarku bertahun-tahun yang lalu, tapi apakah kalau sekarang kami berteman dekat, itu berarti kami pacaran lagi? Apakah sikap Andra padaku memang menunjukkan perhatian yang berlebihan di mata orang yang melihatnya? Mengapa aku yang diberi perhatian malah cuek saja? Mungkinkah karena aku menganggap dia hanya bercanda? Bukankah dia memang hanya sekedar iseng dengan panggilan ‘sayang’ dan ‘aku-kamu’? 

Bagaimana kalau aku salah? Bagaimana jika dia memang punya perasaan lebih kepadaku? Apakah Andra memang ingin menunjukkan kepada orang lain bahwa kami lebih dari sekedar teman? Ah, masalah ini membuatku sulit menentukan sikap. Aku mau bersikap biasa saja agar orang lain tidak salah paham, tapi takutnya perasaan Andra memang lain dan malah akan menyakitinya. Jika aku memberi perhatian lebih padanya, takutnya aku malah yang salah paham. Lalu aku harus bagaimana? 

Aku juga memikirkan pertanyaan Flemy, mengapa kami tidak pacaran lagi saja? Apakah ada yang salah dengan itu? Toh kami masih sama-sama jomblo. Lalu mengingat kejadian sewaktu reuni, mengapa aku tidak ingin teman-teman tahu kedekatanku dengan Andra? Apakah semata karena tidak ingin menimbulkan salah paham? Atau... 

Kriiiiing... Kriiiiing... 

Andra. Aku menghela napas panjang sebelum mengangkat teleponnya. 

“Ya, Ra?” Aku memang selalu memanggilnya 'Ra' atau 'Andra', bukan 'Ndra' seperti yang lain. Aku ingat dulu alasanku adalah karena 'Ndra' mengingatkanku pada 'Mandra', yang hanya dijawab tawa geli olehnya.  Sepertinya bagiku sebutan 'Ra' lebih enak didengar ketimbang 'Ndra'. 

“Sayang, kamu di rumah kan? Lagi banyak kerjaan nggak?” Ini salah satu nilai lebih Andra di mataku. He’s straight to the point, sangat jarang basa-basi. Aku kurang suka sama cowok yang banyak ‘pendahuluannya’ sebelum sampai ke ‘pembahasan’. 

“Iya, lagi di rumah. You know I’m home for vacation, pastinya nggak ngapa-ngapain. Kenapa?” tanyaku. Aku tidak pernah mau menggunakan kata ‘sayang’ favoritnya, tapi kali ini juga tidak mau menyakitinya dengan bersikap beda dari biasanya. 

“Aku mau ngajak kamu nonton. Kamu suka Transformer dan belum nonton kan?” 

Aku terdiam sebentar untuk berpikir. Kalau aku ikut, takutnya kami akan semakin lengket. Kami memang sering keluar untuk sekedar makan, nonton, atau cari buku jika aku sedang ada di Bandung, jika Andra sedang tidak sibuk di kantornya. Kalau aku sedang malas keluar, biasanya dia akan menemaniku di rumah, membantuku memasak bersama Mama atau sekedar ngobrol ngalor-ngidul bersama Papa. Andra memang sudah dekat dengan keluargaku. 

“Sayang? Kamu nggak mau nonton ya? Lagi males keluar?” Pertanyaan Aldi membuyarkan lamunanku. Ia terdengar agak kecewa. 

“Eh, sorry. Transformer 3 ya? Hmm, jam berapa mainnya?” 

“Nonton yang sore aja ya? How about five? Then we can dine after that,” usul Aldi. Hmm, sounds good

“Oke deh. Nonton di Ciwalk aja ya, udah lama nggak ke sana. Kamu dari kantor jam berapa?” Padahal Cihampelas cukup jauh dari tempat kerja Andra belum lagi kalau macet. Aku sengaja ingin menguji apakah dia mau menuruti keinginanku, ingin tahu isi hatinya. 

“Hmm, Ciwalk ya?” Dia seperti agak keberatan, tapi kemudian memutuskan. “Okay. I’ll pick you up at four then. Aku dari kantor jam tiga aja.” Tuh kan, dia memang selalu mengalah. 

“Nggak apa-apa jam tiga udah kabur? Kerjaan kamu gimana?” tanyaku untuk memastikan. 

That’s okay, honey. Lagi nggak banyak kerjaan kok, nanti kalo ada kerjaan dadakan aku serahin ke Roni aja,” jelas Aldi menyebutkan salah satu nama teman kerjanya. Aldi bekerja sebagai fotografer. Dia dan beberapa temannya membuka studio foto profesional. Aku sudah pernah beberapa kali diajak ke sana. Terlihat sekali dia senang dan bangga dengan pekerjaannya sekarang. Bisa dibilang kamera adalah pacar keduanya, jika saja saat ini dia punya pacar. 

Okay then. Aku tunggu jam empat ya. Dah,” aku mengakhiri percakapan, lalu langsung sibuk memilih baju yang akan kukenakan. Setelah selesai, aku menuju kamar mandi sambil berdoa dalam hati, semoga Tuhan menuntunku ke arah yang terbaik untuk aku dan Andra.

0 comments:

Post a Comment

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

 
;