Kisah cinta itu tragis, Bung! Yap. Coba deh ingat-ingat kisah cinta mana yang tidak berakhir atau berjalan tragically. Yah kecuali kisah-kisah cinta Disney lho ya, makanya itu ga termasuk. Nih ya, saya bantu mengingat. Romeo and Juliet, Pride and Prejudice, Jane Eyre, Love in The Time of Cholera, bahkan Ada Apa dengan Cinta, sampai Ayat-ayat Cinta semuanya menceritakan gimana tragisnya kisah percintaan dua (atau tiga atau empat) anak manusia. Dan, termasuk kisah say... #eh #uhuk
Well, the main point here is not about how tragic love story is. Saya cuma mau share sedikit tentang sebuah novel yang baru mulai saya baca beberapa hari ini. Judulnya "Wuthering Heights" karya Emily Bronte. Novel ini adalah salah satu novel klasik yang diterbitin tahun 1800an di Inggris dengan tema, ga lain dan ga beda: Cinta. Perlu diketahui pada masa itu di Inggris emang lagi ngehits banget tuh yang namanya novel romantis. Pionirnya adalah Jane Austen yang nulis kisah romantis paling hits sepanjang masa, "Pride and Prejudice". Sejak itu jadi banyak penulis-penulis muda lainnya yang coba-coba ngikutin jejak Jane tapi dengan gaya bahasa mereka sendiri tentunya.
Nah, yang ngebedain Whutering Heights dari novel-novel romantis lain pada waktu itu adalah kisah cintanya yang terlampau gelap dan penuh kekerasan. Ceritanya emang bukan tentang cinta-cintaan melankolis yang lemah lembut, melainkan tentang pembalasan dendam seorang lelaki yang cintanya bertepuk sebelah tangan. Selain itu yang bikin beda juga karena penceritaan kisah di novel ini bukan dilakukan oleh si tokoh utama, tapi dari sudut pandang orang lain yang perannya dalam Wuthering Heights ga terlalu signifikan. Diceritakan si tokoh narator ini seperti seorang pengamat sikap keseharian si tokoh utama.
Berhubung saya belum baca sampe abis, saya belom bisa cerita keseluruhan kisah di dalamnya kayak gimana. Tapi yaaaaa, ada satu paragraf di bagian awal novel yang pas baca bikin saya ketawa miris. Bener-bener mirip sama kisah saya sendiri! Yaaah, mending saya MAKSA KETAWA daripada NANGIS kan yaaa *pasang muka datar*
Here's the paragraph...
"... Ketika sedang menikmati cerahnya udara di tepi pantai, mataku dibuat terpesona oleh sesosok makhluk yang sangat indah, bagai dewi. Ia tidak memperhatikan diriku. Aku tidak pernah 'menyatakan cinta' secara terbuka, tapi tetap saja jika tatapan mata adalah sebuah bahasa, orang terbodoh pun dapat berkata bahwa aku tergila-gila kepadanya. Dan akhirnya ketika ia menyadari tatapanku, dan balik menatap mataku, aku melihat pandangan terindah yang mungkin dapat terbayangkan. Dan, apa yang kulakukan? Dengan malu-malu kuakui, bagai seekor siput, aku segera berlindung di balik cangkangku. Ketika menghadapi tatapan matanya yang terlayang ke arahku, aku merasa sikapku kian dingin dan jauh, hingga akhirnya gadis tak bersalah itu meragukan bisikan hatinya sendiri. Dalam kebingungan yang menyelubungi dirinya karena ia merasa telah membuat kesalahan, ia membujuk dirinya untuk perlahan menyingkir. Aku telah bertindak tidak pantas dan hanya aku yang dapat memahami seberapa besar kesalahanku."
Ya alhamdulillah yaaaa, saya sudah berhasil melewati fase tergalau dalam hidup saya dengan
Udahan ah. Udah mulai-mau-menuju-ke arah-penggalauan nih ternyata nulis beginian.
Salam anti-galau.
for my Mr. K, hope you'll read it :P
*nularin galau*