*untuk cerita sebelumnya, lihat Chapter 4*
Malam minggu kali ini kuhabiskan di rumah saja, tanpa Andra karena aku masih bingung harus berbuat apa setelah insiden kemarin. Aku sudah membalas sms dari Andra, kubilang bahwa aku sudah memaafkannya tapi aku masih belum ingin bertemu dengannya. Untungnya dia maklum, tapi dia bilang: jangan lama-lama ya, nanti aku kangen. Meh! Mulut lelaki...
Sore itu aku sedang sibuk chatting di facebook dengan teman kuliahku di Lampung. Dia menanyakan kapan aku kembali. Tidak terasa sudah satu bulan aku di rumah, melarikan diri dari kenyataan harus menyelesaikan skripsi. Itu artinya waktuku tinggal sebentar di sini. Haaaah, masalah dengan Andra membuatku lupa bahwa ada masalah yang lebih besar yang menantiku di Lampung.
Sekedar untuk mengistirahatkan otak dari masalah pelik yang kuhadapi, aku pun iseng update status di FB: "Calon pacar mana nih calon pacar..". Dan ternyata beberapa jam kemudian sudah ada belasan orang yang comment. Beberapa di antaranya cowok dan mereka bercanda menawarkan dirinya menjadi pacarku. Aku tertawa-tawa sendiri membacanya. Tiba-tiba mataku sampai pada comment yang paling terakhir yang membuatku merinding. Andra menulis: siapa pun calon pacarnya Rina siap2 patah hati ya.. kamu boleh pacaran sm siapa aja kok sayang, yg penting nikahnya sama aku, hehehe.. Comment-nya langsung di ‘like’ tiga orang, di antaranya Irfan. Lalu muncul comment dari Flemy: beuuuh, yang punya hak milik langsung angkat bicara! Hahahahaha..
Aseeeeem! Ini pasti konspirasi!!!
Belum sempat aku memberikan comment balasan, ponselku bergetar. Kulirik layarnya. Ferry.
“Halo! Kenapa, De?” Ferry memang sudah kuanggap seperti adik laki-laki yang tidak pernah kumiliki.
“Mbak Nin, udah buka FB?” tanyanya langsung. Oh, rupanya dia ingin membahas comment dari Andra.
“Baru aja buka. Ada orang gila yang comment ya? Hahaha, udah nggak usah ditanggepin, De,” jawabku berusaha santai.
“Mbak, Ade nanya serius nih. Mbak Nin beneran temenan doang sama Andra? Nggak pacaran?” tanya Ferry lagi. Aku bisa merasakan kekhawatiran dalam suaranya.
“Ya ampun, beneran, De. Kenapa sih kayaknya nggak suka bange kalo gue deket sama Andra. Cemburu ya? Hihihi...” candaku.
“Ade cuma nggak mau Mbak Nin sakit hati kalo pacaran sama dia. Andra tuh playboy, Mbak. Gonta-ganti cewek mulu. Pacaran nggak pernah lama.”
“Emangnya lo pikir gue nggak tau soal itu? Makanya gue nggak mau pacaran sama dia, De. Sekarang dia beneran lagi jomblo kok. Andra pasti cerita kalo dia lagi ngedeketin cewek," jelasku.
“Ya mana mungkin Andra cerita sama Mbak, kan targetnya Mbak Nin sendiri. Lagian kalo emang kalian nggak pacaran kenapa sikapnya Andra kayak gitu ke Mbak Nin, perhatian banget? Terus sering banget jalan bareng.” Ferry masih ngotot dengan argumennya.
“Ya karena kita nyaman jalan bareng, ngobrol, cerita, itu aja. Kalo soal perhatian, dia tuh cuma pamer ke kalian, mancing kalian biar ngeledek. Lo kayak nggak tau Andra deh, dia mana pernah serius. Apalagi sama gue,” jawabku tanpa bercerita tentang ucapan Andra beberapa hari yang lalu. Ferry terdiam, sepertinya belum yakin benar.
“Ya udah, Ade percaya sama Mbak, tapi kalo ada apa-apa jangan lupa cerita ya, Mbak,” pintanya. Ya ampun, adik kecilku ini rupanya benar-benar mengkhawatirkanku.
“Iya, adekku sayang. Udah dulu yah, ada telepon masuk nih kayaknya. Makasih ya, udah khawatirin gue. Dah, Ade.”
“Sama-sama, Mbak Nin. Dah,” katanya lalu menutup teleponnya.
Kulihat layar ponselku, ternyata Andra yang menelepon. Sudah enam hari aku tidak bicara dan bertemu dengannya. Lumayan lama karena biasanya dua hari sekali dia telepon atau seminggu dua kali kami bertemu. Aku sempat menghela napas berat sebelum mengangkat telepon darinya.
“Terima kasih, Tuhan! Akhirnya kamu mau angkat telepon dari aku. Aku bener-bener minta maaf soal kejadian yang lalu. Kamu mau kan maafin aku?” pintanya memohon. Dia terdengar bahagia sekali setelah mendengar suaraku.
“Udah kumaafin kok, but don’t ever do that again. Kalo kamu mau bilang A, ya bilang A. Jangan tiba-tiba ngeralat omongan sendiri nggak jelas gitu, bikin orang lain bingung ,” kataku mengingatkan.
“Iya, sayang. Sekali lagi aku minta maaaaaaaaf banget cause I got you disappointed.”
“Ya udah lah, nggak usah dibahas lagi ya. Past is past.”
“Aku udah boleh ketemu kamu? I really really really miss you,” tanyanya lirih. Aku jadi tidak tega untuk berlama-lama marah padanya, tapi sifat jahilku memang sulit hilang jika sudah berhadapan dengan Andra.
“Hmm, gimana yaaaa... Males ah,” jawabku iseng menggodanya.
“Lho, kok gitu? Katanya kamu udah nggak marah, aku beneran udah dimaafin kan?” Andra bertanya dengan nada antara khawatir dan bingung.
“Ahahaha, kamu ngegemesin deh kalo lagi merajuk gitu.” Aku tidak bisa menahan tawaku.
“Sayaaaang, kamu kok tega banget sih sama aku?” Aku yakin di seberang sana, mukanya sudah cemberut tak senang.
“Hehehe, maaf ya. Besok siang kamu ada acara nggak? Main aja ke rumah, temenin Mama masak sayur lodeh kesukaan kamu tuh,” kataku dengan baik hati menawarkan. Aku yakin Mama tidak akan keberatan.
“Really? Asyiiik! Besok aku ke sana jam 10 ya, bilang Mama. Bye, sayang,” ujarnya lalu menutup telepon.
Aku tersenyum sendiri menyadari bahwa aku tidak akan bisa lama marah padanya. Aku teringat facebook. Kubaca sekali lagi comment-comment itu. Ah, biarlah mereka penasaran. Kubiarkan saja tanpa membalas satupun comment dari teman-temanku.
0 comments:
Post a Comment