“Mana mungkin?” (Gadis)
“How could this happen?” (Troy)
Perasaan kecewa memenuhi relung hati mereka. Tak satu pun rela jika semua itu hanya ilusi. Semua terlalu indah untuk hanya menjadi sekedar mimpi. Seakan menyadari sesuatu, mereka mengangkat tangan kanan mereka, berharap setidaknya ada sepotong bukti yang tersisa, yang dapat meyakinkan mereka bahwa yang terjadi bukan hanya mimpi aneh, dan...
Di sana, di jari manis mereka, di antara ke sepuluh jemari mereka yang gemetar, TAK ADA sepotong pun cincin kawin yang melingkari jari manis mereka!!
Jadi semua itu sama sekali tidak pernah terjadi? Pertunangan? Pernikahan? Bulan madu? Perjanjian let’s call the whole thing off? Baby Disdis? Troy Junior? Semua hanya MIMPI BELAKA?!
“Seseorang harus membayar lelucon tolol ini!!” (Gadis)
“Somebody must pay for this stupid joke!!” (Troy)
“ARGHHH!!!!!!!!!”
Gadis dan Troy masih tak habis pikir bagaimana hal seperti ini bisa menimpa mereka berdua. Semua itu terasa benar-benar nyata. Mereka masih berada di pesta kantor dan masih sama-sama menunggu kedatangan fortune teller yang menjadi sumber dari masalah mereka, tetapi hingga pesta usai, wanita yang berpenampilan seperti gipsi itu tidak juga menunjukkan batang hidungnya. Mata Troy melintasi ruangan dan berhenti pada sosok Gadis yang tampak setengah melamun menatap lantai. Ia membatin, kalau semua ini hanya mimpi, why does my feeling remain the same?
Tiba-tiba Gadis mengangkat kepalanya yang terkulai dan matanya bersitatap dengan Troy. Ia memperhatikan Troy berjalan ke arahnya, dan entah mengapa jantungnya seketika berdebar kencang.
”Hi,” sapa Troy pelan. Kalau saja mimpi aneh itu tidak terjadi, maka sekarang ia akan menganggap Troy sudah gila karena menyapanya dengan sopan.
”Hai,” balas Gadis. Lalu hening sesaat sebelum Troy melanjutkan.
”This is very awkward.”
”Ya, aku juga merasa begitu,” kata Gadis. Troy tidak melanjutkan lagi. Ia memandang ke sekeliling ruangan. Hanya tinggal sedikit orang yang tinggal di ruangan itu, beberapa teman mereka dan para petugas yang membersihkan sisa-sisa pesta.
”It’s late, Dis, mau kuantar pulang?” tanya Troy sambil beranjak duduk di kursi di samping Gadis. Gadis menatapnya aneh.
”Bangun, Troy, kita sudah ada di dunia nyata sekarang.” Gadis mengingatkan.
”Dis, please, don’t make this worse,” kata Troy pelan, setengah memelas.
”Apa?” kata Gadis dengan nada naik setengah oktaf. Ternyata orang ini belum berubah, tetap menyebalkan, pikirnya. ”Siapa yang membuat ini tambah parah? Kamu harus sadar, Troy, semua itu mimpi belaka, tidak pernah terjadi. Jangan bersikap seakan-akan kita benar-benar suami-istri,” katanya pelan tapi penuh penekanan pada kalimat terakhir.
Troy menghela napas pelan sebelum berkata, ”Tetapi perasaanku sama seperti dalam mimpi itu and I know that you feel the same way too.” Matanya seperti mencari kejujuran di wajah Gadis.
Gadis bangkit dan meletakkan gelas minumannya yang sudah kosong di meja terdekat, lalu berkata, ”Aku tidak ingin terus hidup dibayang-bayangi mimpi. Anggap saja semua itu tidak pernah terjadi. Toh sebelumnya kita juga tidak pernah akur.”
Ia lalu berjalan ke luar ruangan diikuti pandangan mata Troy yang kaget setelah mendengar perkataannya.
Dalam perjalanan pulang, di mobil, Gadis kembali memikirkan perkataan Troy tadi. Kalau boleh jujur, ia juga merasakan hal sama seperti Troy, tapi ia bingung, kenapa tadi ia begitu sinis? Gadis berpikir, mereka tidak mungkin cocok, bahkan dalam mimpi sekalipun mereka tetap saja bertengkar. Karena itu Gadis tidak ingin berharap lebih. Ia pun berjanji pada dirinya sendiri: ”Nggak!! Nggak boleh!! Aku nggak boleh dekati dia lagi! Harus jauh-jauh!! Aku harus kuat!! Pokoknya harus KUAT!!!”
Lain halnya dengan Troy, ia benar-benar tidak bisa melupakan semua yang terjadi dalam mimpi itu. Pertunangan, pernikahan, bulan madu, Troy Junior, semuanya. Troy benar-benar dibuat bingung oleh sikap Gadis yang menarik diri dan sangat sinis padanya. ”Huupphhh... what am I supposed to do?”